Kemenangan Vs Ketakwaan

Terlalu dini mungkin untuk membicarakan tentang kemenangan Ramadhan tahun ini. Baru 13 hari terlewati untuk mengisi pundi-pundi amal kita, dengan pahala-pahala yang di sebarkan oleh Allah seluas-luasnya. Namun sebagai bahan perenungan, tak berlebihan rasanya kita mencoba untuk sejenak memutar memori mengenai hari-hari yang telah kita lalui sampai dengan hari ini. Setidaknya kita bisa memperbaiki amalan kita jika ternyata masih “kurang sukses” dalam misi kita meraih kemenangan. Karena kemenangan adalah cita-cita semua orang ketika menjalani ramadhan, dan kemenangan kita diakhir ditentukan oleh kemenangan kita dalam meniti hari-hari sebelumnya.

Sekali lagi, kemenangan ramadhan adalah cita-cita semua orang. Namun upaya setiap orang untuk mengkonstruksikan bangunan kemenangannya dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Bagi sebagia (besar) orang, kemenangan masih banyak diartikan sebagai “pembaruan” diri dengan menggunakan segala asesoris jasmani serba baru, atau diartikan sebagai keberhasilan menyelesaikan puasa tanpa terputus ditengah-tengahnya. Sehingga wajar, menjelang akhir ramadhan, intensitas keramaian bukan terpusat pada masjid dan majelis dzikir, namun telah berpindah ke terminal, stasiun, bandara, pasar, mall, dan pusat perbelanjaan lain demi untuk mempersiapkan “kemenangan semu” yang –juga- bersifat ritual.

Coba kita sedikit merefresh kembali pemahaman kita. Allah menurunkan perintah puasa ramadhan sebagai sarana untuk membentuk ketakwaan pada jiwa kita. Namun, melihat fenomena ramadhan dari tahun ke tahun, tujuan ini seakan sudah terlupakan, atau setidaknya telah jauh terpinggirkan. Ketakwaan adalah titik akhir, saat kemenangan ramadhan benar-benar sudah ditangan.Kemenangan dan ketakwaan ini seharusnya menjadi “dua sejoli” yang tak terpisahkan, karena saat kita meraih kemenangan ramadhan, maka sudah pasti ketakwaan kita pun bertambah. Dengan syarat kemenangan kita adalah kemenangan yang sesungguhnya. Kemenangan yang dirangkai sedikit demi sedikit demi meraih kemenangan besar diakhir ramadhan.

Namun, saat ini keduanya berjalan sendiri-sendiri dan seolah tak berkait. Bila seseorang mengejar peningkatan “derajat takwa”, maka ia harus rela untuk meninggalkan “kemenangan” dan hingar bingar euphoria yang ada dihadapan matanya. Disisi lain, apabila seseorang mengejar kemenangan –semu- ramadhan, maka bisa dipastikan, proses menuju ketakwaannya akan sedikit terabaikan. Tentu saja ini bermuara pada kesalahan memaknai kemenangan ramadhan. Kemenangan yang sekedar dimaknai sebagai kemenangan fisik, bukan kemenangan hati. Kemenangan yang hanya akan bertahan saat hari raya tiba, tapi tak berbekas pada hari-hari berikutnya. ironisnya, hal ini terus berulang setiap tahun.

Bukan itu yang kita inginkan dari ramadhan. Kita menginginkan ramadhan yang berkesan, hingga akan muncul kerinduan saat ramadhan tahun ini kita tinggalkan. Ramadhan yang memberikan bekal, sehingga ramadhan selanjutnya tidak kita mulai “dari awal”. Ramadhan yang membawa kita menjadi manusia baru, jika kita tidak kembali diizinkan untuk bertemu, sehingga kita telah siap untuk berjumpa dengan sang khaliq bila suatu saat kita harus pergi lebih dulu.

Kita inginkan ramadhan sempurna. Yang dengannya kita meraih derajat taqwa. Yang dengannya kita raih kemenangan bermakna. Yang dengannya melebur segala dosa. Yang dengannya islam kembali berjaya. Namun, saat ini segalanya masih disusun dari puing, oleh pekerja-pekerja yang tak pernah mengenal lelah, sampai kakinya menginjak sebuah tempat dengan kenikmatan tiada terkira…

(Direvisi dari tulisan dengan judul yang sama, dengan beberapa penambahan. Menandai, berbilangnya Ramadhan yang telah dilalui dengan kesedihan dan airmata)

Tinggalkan komentar

Belum ada komentar.

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar